Semarak Kemerdekaan 74. Bisa melaksanakan upacara bendera dalam keheningan dan kesepian adalah hal yang tidak biasa. Ini adalah kali keduaku, setelah sebelumnya di pulau Bana-banawang, Pangkep, yang di mana tidak seorang pun tinggal di sini. Hanya nelayan lalu lalang dengan hasrat mengejar rezeki-Nya. Adalah pulau Cangke, yang masih bagian dari Pangkep dan gugusan kepulauan Spermonde, dikenal sebagai fasilitas riset dan penangkaran penyu sisik (Eretmochelys imbricata).
Berlayar ke Pulau Cangke
Sudah menjadi keunikan komunitas OBES Adventure, dan agenda tahunan mereka untuk melaksanakan pembentangan bendera di pulau. Dan kali ini, pulau Cangke yang dipilih untuk mengisi kemerdekaan RI ke-74. Dari Makassar, kita menempuh perjalanan sejauh 65 km menggunakan moda roda dua ke dermaga Maccini Baji, Pangkep. Dermaga ini merupakan titik temu yang biasanya jadi titik awal keberangkatan. Biaya sewa kapal dikenakan Rp. 150.000,-/orang, itu belum termasuk kebutuhan pribadi Anda. Dari dermaga ke pulau Cangke, memakan waktu sejam lebih. Dan seperti yang sebelum-sebelumnya saya katakan, berlayarlah saat pagi, di awal hari, karena ombaknya masih belum terlalu kencang.
Biaya Total 1. Pribadi Rp. 100.000,- 2. Sewa kapal Rp. 150.000,- 3. Bensin Rp. 30.000,- 4. Dana tak terduga Rp. 100.000,- 5. Ngelamar doi .............
Ekosistem Pulau Cangke
Pulau ini adalah fasilitas riset, tempat penangkaran penyu yang sudah ada sejak tahun 1970-an, tapi baru dibuka untuk umum tahun 2000. Penyu kadang hanya muncul di musim tertentu, atau saat malam, saat tidak ada cahaya. Berbeda dengan pulau tropis lainnya, Daeng Abu dan Mak Edah sepertinya merawat pulau ini dengan sangat baik, meskipun usia mereka tak lagi muda. Pepohonan yang menutupi sebagian besar pulau ini cukup rindang, dengan pemandangan yang sangat indah, apalagi saat sunrise atau sunset. Pulau ini lumayan ramai saat kami berkunjung, karena musimnya sangat mendukung untuk berkemah.
Romeo Juliet versi Sulawesi
Sebenarnya nama itu kurang pantas kusematkan kepada Daeng Abu dan Mak Edah. Mungkin Aisyah dan Rasulullah lebih cocok. Mereka berdua dipercaya merawat pulau ini sejak tahun 1978. Hanya berdua guys! Konon katanya mereka terusir dari kampungnya, karena Daeng Abu menderita penyakit kusta. Tapi penjelasan yang kudengar dari Daeng Abu sendiri sangat berbeda, bisa Anda tonton wawancaranya pada video di atas. Mereka mampu bertahan hingga hari ini karena bantuan dari dermawan dan pemerintah yang sering memantau perkembangan penyu sisik. Mereka beberapa kali mendapat penghargaan dan dinobatkan sebagai pahlawan lingkungan. Dari cerita beliau, beberapa kali terluka karena pekerjaannya saat melaut dan menyebabkan beliau cacat. Beliau juga sempat terserang penyakit, dan Mak Edah sendiri kehilangan pendengarannya. Meskipun mereka berdua memiliki kekurangan fisik, tapi mereka saling melengkapi, Daeng Abu jadi telinga, dan Mak Edah jadi matanya. So sweet!
Dari mereka, kita belajar salah satu makna cinta dalam kehidupan. Bahwa keterbatasan bukan halangan. Apa yang menumbuhkan cinta, adalah rasa tanggung jawab, dan keinginan untuk saling melengkapi. Apalagi momennya sangat pas, pelaksanaan ulang tahun RI ke-74. Dibentangkannya bendera yang panjang itu bisa bermakna sepanjang itulah cintamu dan sejauh ini perjuanganmu untuk melakukannya. Terima kasih untuk teman-teman komunitas atas perjalanan yang keren ini!
- Ahmed Sholeh
Comments