Ba'da magrib selepas petang, dalam perjalanan ke apotek, bersebelahan dengan empat orang anak kecil. Sekilas pembicaraan mereka tentang struktur organisasi sekolah mereka. Awalnya saya cuma menyimak, kemudian headset kulepaskan, biar pembicaraan mereka tidak sekilas ditelinga. Kira-kira dialognya seperti ini:
Anak A: Sekretaris, Bendahara, (sambil tertawa menyebutkan kata-kata itu) Anak B: deh nda enaki do' (logat makassar) Anak A: deh apamo?! Disuruh-suruhki'! Teaja saya'! Anak B: klo sekretaris, penulis. Klo bendahara pegang uang Anak C dan Anak D cuma mengiyakan dan sibuk manggut-manggut gak jelas pertanda setuju.
What is leadership?
Yup, kenyataannya memang cuma sekilas. Karena belum semua pembicaraan mereka kusimak, kita berpisah.
Awalnya, saya mengira pembicaraan mereka cuma sebatas guyonan anak kecil, karena saya juga sempat ikut nyengir. Tapi entah kenapa diperjalanan pulang, keluar dari pintu apotek, saya tiba-tiba kembali mengingat apa yang dikatakan anak-anak kecil tadi. Saya mencoba menelaah lebih dalam, kenapa anak-anak ini sudah bisa mengatakan seperti itu? Segitu buruknya kah tanggung jawab menjadi pembesar-pembesar kelas? Saya paham, yang ada dipikiran anak kecil seusia mereka hanya main. Anehnya mungkin dari diri saya, yang sudah dijangkiti emosi sesaat mengingat kembali kalimat-kalimat hinaan yang mereka utarakan kepada jabatan-jabatan penting itu.
Hal yang membuat saya tiba-tiba marah adalah karena hal serupa yang pernah saya alami sewaktu kuliah. Dialognya mungkin seperti ini:
Gue: semuanya saya yang urus, mulai dari ngambil absen, panggil dosen, ambil penghapus, spidol, dkk. Apa seperti itu kerjaan seorang ketua tingkat? Erni: yah emang seperti itu kerjaanmu jadi ketua! Tanggung jawabmumi itu! Gue: klo tanggung jawabku seperti itu, trus kerjaanmu sebagai bawahan apa? Cuma terima beres?!
Dan saat itu juga, saya mengundurkan diri dari jabatan ketua tingkat. Sori, namanya gak gue sensor, ya kali dia baca, trus paham.
Masa kuliah yang indah seolah sirna, untuk saya. Saya sempat merenung, kira-kira ada berapa ribu orang di negara ini yang punya pikiran sama seperti cewek pada dialog diatas? Kalau mereka dikumpulin jadi satu koloni, kira-kira hidup mereka bahagia gak yah? Soalnya pada mau enaknya aja, gak ada yang mau ngerti.
Sayangnya, saya pribadi, mungkin tidak mampu melewati tes kepemimpinan yang diembankan kepada saya kala itu. Sukseslah buat mereka yang tergabung dengan organisasi kampus, mungkin mereka berhasil. Cuma lucu aja kelihatannya, mereka yang punya pikiran seperti itu, terpelajar tapi tidak memahami apa itu kepemimpinan. Memperlakukan pemimpinnya seperti babu, suruh ini suruh itu, gak ada yang mau bergerak membantu, atau sekadar kasi semangat biar kinerjanya terpacu.
Orang-orang seperti ini, dimasyarakat adalah kumpulan tukang kritik, yang jago ngetik komen pertama dimedsos tiap ada postingan penuh sensasi. Orang-orang awam nyante aja nerima kayak kambing, eh mereka sibuk bikin ribut cari jeleknya si pemimpin. Mereka pikir suasana panas penuh intrik, padahal mereka doang yang memantik konflik. Ya elaaah... Dibayar berapa sih buat bikin hate speech?! Kalaupun mereka agak katrok, gak main gadget dan medsos, yah modelnya sama kayak cewek yang didialog tadi. Cuma mikir diri sendiri.
Emosi meledak, moralku rusak, ketika gue ingat kembali dialog itu. Kok rasanya pahit? Sepahit arak, dan sontak, amarahku memuncak, menyentak keras diatas tengkorak, dalam setiap momen jantung berdetak. Retak. Iya, hatiku retak. Dendamku tumbuh dan menyeruak. Menjadikan diriku yang cuek, individualis, dan baperan seperti saat ini. Oh Please! -_-"
Give birth to leader, not to bullies!
Balik lagi ke geng anak kecil tadi. Dari kecil aja pikirannya udah ogah-ogahan dikasih tanggung jawab. Semoga aja orang tua mereka gak punya pikiran seperti itu. Gimana ketika mereka udah dewasa dan masuk ke dalam masyarakat? Saya takut mereka kerja hanya ingin harta dan tahta, mengurus sesama adalah hal tabu dan menguras tenaga. Astagfirullah....
Comments