Lembanna, 7 Oktober 2016
Pesona Lembah Ramma
Tahun 2016 adalah tahunnya para traveller, dimana saya juga tertarik untuk menjalani hobi baru ini. Dan Lembah Ramma adalah salah satu lokasi yang menjadi perhatian saya. Saya sudah pernah ke tempat ini sebelumnya waktu mahasiswa dulu, dalam rangka pengaderan. Tahun ke tahun berlalu tempat ini tidak pernah kehilangan pesonanya, makin ramai dengan banyaknya pendaki yang menikmati keindahan kaki gunung bawakaraeng ini, apalagi pas weekend. Umumnya pendaki melewati jalur Lembanna untuk bisa sampai ke lembah ini atau ingin mendaki gunung Bawakaraeng. Dan karena saya terbilang pemula dalam urusan mendaki, makanya saya ngikut aja jalur umum.
Butuh waktu dua jam dari Makassar untuk sampai di lingkungan Lembanna. Dan malam itu saya berangkat sendiri dengan niat untuk belajar mandiri. Tapi sampai di sini saya ketemu dengan sekelompok Mahasiswa Hukum Unhas dan memutuskan untuk bermalam dulu di rumah Tata Andi. Keesokan harinya baru kami berangkat bareng ke Lembah Ramma, sekitar tiga jam untuk menempuh jalur Lembanna bagi pemula seperti saya, karena jalur yang panjang dan beberapa kali pendakian. Tapi tidak jadi hambatan karena keindahan alamnya.
Jalan ke Ramma via jalur Lembanna
Perjalanan panjang ini baru terasa kenikmatannya ketika sampai di bukit Tallung. Persinggahan sementara sebelum sampai di Ramma. Ada beberapa pendaki yang memilih mendirikan tenda di sini. Mungkin karena pemandangannya yang lebih spektakuler daripada di bawah.
Pemandangan dari bukit Tallung
Ramma itu ibarat halaman belakang rumah yang sangat luas. Pikiranku tiba-tiba dibanjiri kenangan masa lalu saat masih bersama teman-teman kuliah dulu. Suasana kekeluargaan begitu terasa ketika berada di tempat seperti ini, menikmati kebebasan sembari lari dari kesibukan sehari-hari.
Lembah Ramma
Satu cerita unik mengenai Ramma, adalah tentang seseorang yang memutuskan tinggal di tempat ini. Menyendiri, mendedikasikan hidupnya untuk mengurus Bawakaraeng. Orang itu bernama Mandong, orang tua sebatang kara yang bekerja sebagai tenaga honorer dibawah dinas kehutanan untuk menjaga kawasan hutan. Sewaktu saya mampir ke rumahnya, beliau dalam keadaan tidak sehat. Beliau selalu menyebutkan nama “Mustari”, seseorang yang selalu berjualan di Bukit Tallung. Katanya beliau (Mandong) sudah memesan obat batuk beberapa minggu yang lalu tapi tak kunjung sampai.
Saya sempat gelisah, dengan kesendiriannya, siapa yang akan merawat beliau dalam keadaan seperti ini. Sampai sekarang saya masih penasaran kenapa dia tidak mau pindah dari sini, menuju kampung dengan orang-orang ramah yang siap merawatnya setiap saat. Yah itulah keputusan pribadinya. Dengan keadaannya yang tidak sehat seperti ini, saya tidak bisa berbincang banyak dengan beliau. Saya pun agak gusar saat itu karena tidak info yang saya bawa pulang.
Beliau hanya menitip pesan
“Jagalah Bawakaraeng, karena Bawakaraeng adalah pusat dunia. Jika Bawakaraeng aman, maka Sulawesi aman, jika Sulawesi aman, maka Indonesia aman, jika Indonesia aman, maka amanlah seluruh dunia.”
– Mandong
Yah, dengan kalimatnya yang mencengangkan ini, percaya gak percaya sih! Tapi sebagai manusia yang mampu berpikir logis, pernyataan itu ada benarnya juga. Menjaga alam bukan tugas satu orang, tapi semua pihak, karena kita saling bergantung satu sama lain.
Comments