Ahmed

Writer, Traveller, and Videographer

Dilema Mahasiswa Pekerja part 1

Diterbitkan tanggal

Dilema antara kerja dan kuliah

Pernah kuukir satu nama, di atas batu permata. Agar suatu saat, ketika orang lain menemukannya, kemudian menjualnya dengan harga yang tak terkira. Ada masa dimana semangat ini masih membara, menginginkan kepuasan hati semata. Tapi sebenarnya ia buta, akan kuasa-Nya, dan atas apa yang selama ini dibutuhkannya.

Pernah... Pernah aku kejar kemapanan, diantara padatnya keseharian, antara penat yang tak jua bisa kutahan, antara ruang pikiran, antara rentetan kejadian, dan tak mampu kubendung emosi sejalan, dengan keselarasan. Antara luapan caci makian, antara gosip-gosip murahan, hingga antara orang-orang yang hobi menjatuhkan.

Seminar Mahasiswa

Kebiasaan siapa ini?

Pernah, atau saat ini aku berusaha raih sesuatu yang tidak jelas. Tidak jelas jika kulihat sekilas. Tidak jelas arah juang dan kontinuitas. Aku juga tidak yakin ini mimpi atau realitas. Meskipun hanya kupikir sepintas, sudah jelas bahwa akhir semua ini, di masa seperti ini, gelar dan ijazah tidak lagi dianggap berkelas, tidak lagi jadi prioritas. Karena sudah kutoreh dalam tiap rutinitas, bahwa sebenarnya, kemampuanlah yang membuatmu dianggap punya identitas.

Di ruang kerjaku yang tak terbatas, kadang terlintas, mampukah kujalani kedua hal ini hingga tuntas? Setelah kuketahui fakta diatas. Setelah kuaminkan rezeki dan nasibku ditentukan oleh secarik kertas. Aku yakin, pada-Nya sumber kasih sayang tak terbatas.

Perintah dari-Nya, setelah sholat, menyebarlah di muka bumi mencari karunia-Nya. Mencari apa yang kau anggap sebagai bentuk ibadah kepada-Nya. Mencari semua yang kau butuhkan untuk mengakui kebesaran-Nya. Harus kukatakan, di dalam kelas, bangku kuliah terasa hampa. Tapi tidak munafik, hidupku ini juga harus terasa bermakna, mungkin sudah saatnya saya berkarya, dan dihargai, tidak dalam bentuk materi semata, tapi juga pengakuan: dianggap berguna bagi sesama. Dan perasaan seperti itulah yang membuatmu merasa jadi manusia sosial seutuhnya.

Pernah kuukir satu nama, di atas batu .... Awalnya kupikir itu batu permata, ternyata cuma batu akik biasa. Baik akik maupun permata, batu tetaplah batu, keras dan tak bermakna. Sejauh apapun kau melangkah di atas batu untuk mengukir nama, kelak orang lainlah yang menuliskan namamu di batu nisan atau bata. Kelak, hanya batu dan tanah teman setiamu menjelang senja, akan banyak kau temukan bersamamu "di bawah sana".

Intinya, aku telah salah. Aku ternoda dan terbuang, dilema antara kerja dan kuliah. Membuatku lelah, dan tak fokus melangkah.

Ada dua jalan: orientasi nilai miskin ilmu, atau orientasi ilmu tapi nilai anjlok? You choose.

Comments